Fremantle, Oktober 2025 — Tim peneliti Universitas Diponegoro (Undip) Prof. Hartuti Purnaweni, Guru Besar Tata Kelola Lingkungan, dan Junjung Sahala Tua Manik, S.Sos., M.A.P dari Departemen Administrasi Publik, FISIP UNDIP, melaksanakan penelitian bertajuk “Waste Management in Fremantle, Western Australia: A Lesson Learned for Semarang City.”
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Riset Profesor Undip, yang bertujuan memperkuat kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) di bidang pengelolaan sampah dan lingkungan. Riset ini sejalan dengan arah Rencana Induk Penelitian (RINDUK) UNDIP 2025–2029, terutama pada tema pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan melalui pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Kolaborasi dan Sambutan Pemerintah Kota Fremantle

Dalam kunjungannya ke City of Fremantle Walyalup Civic Centre (Balai Kota Fremantle), Prof. Hartuti dan Junjung Sahala Tua Manik diterima langsung oleh Wali Kota Fremantle, Hannah Fitzhardinge, yang menyampaikan apresiasi terhadap kolaborasi riset antara UNDIP dan Pemerintah Kota Fremantle.
“Welcome to Fremantle, Prof. Purnaweni. We’re glad to support your research and look forward to stronger ties between our cities.”
— Mayor Hannah Fitzhardinge
Kutipan ini mencerminkan semangat kerja sama internasional dan diplomasi akademik dalam upaya bersama mewujudkan tata kelola lingkungan berkelanjutan. Prof. Hartuti menegaskan bahwa pengalaman Fremantle menjadi inspirasi penting bagi kota-kota di Indonesia dalam membangun kebijakan berbasis partisipasi publik dan inovasi hijau.
Model Tata Kelola Sampah Fremantle: Efisiensi, Edukasi, dan Partisipasi

Kota Fremantle telah mengembangkan model tata kelola sampah terpadu berbasis ekonomi sirkular, dengan inti pada sistem three-bin collection system yang diterapkan untuk semua rumah tangga.
Sistem ini memisahkan sampah menjadi tiga kategori:
- FOGO (Food Organics and Garden Organics) di kotak sampah organik (tutup hijau) untuk limbah seperti sisa makanan, daun, rumput, dan kompos rumah tangga;
- Recycling bin (tutup kuning) untuk kertas, kaca, logam, dan plastik yang dapat didaur ulang;
- General waste bin (tutup merah atau hijau tua) untuk limbah residu yang tidak dapat diproses kembali.
Setiap jenis sampah dikumpulkan dengan jadwal berbeda — FOGO setiap minggu, sedangkan daur ulang dan limbah residu dikumpulkan secara bergantian setiap dua minggu.
Sistem ini telah terbukti mengurangi sampah menuju TPA, sekaligus meningkatkan kualitas kompos dan material daur ulang yang kembali ke pasar.
Edukasi masyarakat menjadi bagian sentral dari model ini. Pemerintah Fremantle menyediakan kitchen caddy (wadah dapur) gratis untuk membantu rumah tangga memilah limbah organik, serta memberikan kompos hasil olahan FOGO kepada warga dengan harga terjangkau.
Warga juga diajak berpartisipasi melalui aplikasi digital Recycle Right App, yang menyediakan panduan interaktif tentang jenis sampah dan jadwal pengambilan.
Selain itu, pemerintah Fremantle menjalankan berbagai kampanye lingkungan seperti Plastic Free July, program edukatif yang mendorong warga mengurangi konsumsi plastik sekali pakai dengan slogan “Turn the tide, one choice at a time.” Pendekatan edukatif ini menjadikan kebijakan pengelolaan sampah bukan sekadar layanan teknis, melainkan gerakan sosial berkelanjutan yang membentuk perilaku ekologis masyarakat.
Kunjungan ke Resource Recovery Group dan Landfill Drive-Thru

Dalam kunjungan lapangan, tim peneliti Undip mengunjungi Resource Recovery Group (RRG) — lembaga pengelola limbah regional di Canning Vale yang menjadi pusat pemrosesan material daur ulang dan edukasi publik.
RRG berperan penting dalam mengolah limbah rumah tangga menjadi bahan bernilai ekonomi seperti kaca, logam, dan plastik, sekaligus mengadakan pelatihan dan tur edukatif untuk sekolah serta komunitas warga.
Tim juga meninjau sistem landfill drive-thru, tempat masyarakat dapat mengantarkan sendiri sampahnya ke fasilitas pengelolaan limbah sementara.
Sistem ini memungkinkan warga memilah dan menurunkan sampah dari kendaraan tanpa keluar dari mobil, sebelum material tersebut dikirim ke fasilitas Waste to Energy (WtE) ACCIONA di Kwinana.
Menurut Prof. Hartuti, “Sistem drive-thru seperti ini memberikan contoh konkret bagaimana layanan publik dapat sekaligus mendidik dan mempermudah partisipasi warga dalam menjaga kebersihan kota.”
Peran WALGA dan Edukasi Sejak Dini

Dalam sesi wawancara dengan Western Australia Local Government Association (WALGA), tim UNDIP memperoleh wawasan penting tentang strategi edukasi berkelanjutan yang diterapkan pemerintah Australia Barat.
Perwakilan WALGA menjelaskan bahwa pendidikan pemilahan sampah telah diberikan sejak usia sekolah dasar melalui permainan interaktif pilah sampah, yang mengajarkan anak-anak membedakan jenis limbah secara menyenangkan dan praktis.
Program ini terbukti efektif menanamkan perilaku ramah lingkungan secara dini, danmembentuk generasi baru yang sadar pentingnya daur ulang dan tanggung jawab ekologis.
Selain edukasi, WALGA juga menjalankan fungsi koordinasi, audit, dan penyusunan standar kebijakan pengelolaan limbah bagi seluruh pemerintah lokal di Australia Barat, memastikan sistem berjalan transparan, konsisten, dan berbasis bukti.
Inovasi Teknologi: Waste to Energy dan Ekonomi Hijau
Riset tim Undip juga menyoroti inovasi teknologi Waste to Energy (WtE) di fasilitas ACCIONA Kwinana, dengan kapasitas 400.000 ton sampah per tahun, yang diubah menjadi listrik bagi lebih dari 60.000 rumah tangga di wilayah Perth dan Fremantle.
Teknologi ini memperlihatkan sinergi antara sektor publik dan swasta dalam menciptakan ekonomi hijau yang tidak hanya menekan timbunan limbah, tetapi juga menciptakan lapangan kerja ramah lingkungan (green jobs) bagi masyarakat lokal.
Relevansi dan Dampak bagi Kota Semarang
Dari hasil penelitian, tim UNDIP menilai bahwa model tata kelola kolaboratif Fremantle dapat menjadi inspirasi strategis bagi Kota Semarang dalam membangun sistem pengelolaan sampah yang inklusif dan berkelanjutan.
Model yang diusulkan, Collaborative Circular Waste Governance, menempatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, sektor swasta, serta akademisi (quadruple helix) sebagai fondasi utama pengelolaan sampah dan lingkungan.
Pendekatan ini diyakini dapat memperkuat efektivitas kebijakan, memberdayakan ekonomi lokal, serta meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat.
Kontribusi terhadap SDGs dan RINDUK UNDIP
Penelitian ini berkontribusi langsung terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:
- SDG 1 – No Poverty: membuka peluang ekonomi dari sektor daur ulang dan kompos;
- SDG 2 – Zero Hunger: mendorong ketahanan pangan dari pengolahan limbah organik;
- SDG 11 – Sustainable Cities and Communities: membangun kota tangguh dan berketahanan;
- SDG 12 – Responsible Consumption and Production: menanamkan perilaku konsumsi bijak;
- SDG 17 – Partnership for the Goals: memperkuat kerja sama akademik internasional antara UNDIP dan Pemerintah Kota Fremantle.
Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya menjadi contoh transfer ilmu dan kebijakan antarnegara, tetapi juga memperkuat posisi UNDIP sebagai World Class Research University (WCU) yang menghasilkan riset berdampak sosial dan ekologis nyata.